Tidak pernah sekali pun saya membayangkan hidup di masa-masa adanya suatu wabah penyakit seperti yang pernah saya baca dalam beberapa catatan sejarah. Maka, tulisan ini saya buat semata-mata untuk merekam pengalaman bahwa saya pernah melalui pandemi global yang membuat hidup semua orang susah. Kisah ini mungkin bermula dari 16 Maret 2020. Sepanjang yang saya ingat, saya resmi bekerja dari rumah atau work from home (WFH) sejak tanggal tersebut akibat kemunculan virus asing yang menular sangat cepat.
Saya ingat betul, sehari sebelumnya, di Minggu siang tanggal 15 Maret, saya potong rambut di salon yang tidak jauh dari rumah. Setelah selesai dan pulang dari salon, saya agak kesal karena potongannya ternyata tidak rapi. Di rumah, saya lama memandangi rambut di depan cermin. Saya merasa potongannya terlalu pendek, tidak rata pula. Saya mencoba legawa, karena toh seumur hidup saya terbiasa dengan rambut pendek. Seharusnya sedikit kependekan tak jadi masalah besar. Dua minggu lagi juga sudah panjang dan rapi sendiri, pikir saya.
Tapi kemudian saya gelisah sendiri. Saya mikir lagi, besok ada teman yang komentar nggak ya? Ada yang merhatiin potongan rambut saya yang nggak rata nggak sih? Gimana kalau besok, atau dua minggu ke depan mau foto-foto sama teman-teman? Pasti jelek. Saya mulai uring-uringan mikirin gimana melalui hidup dengan potongan rambut yang nggak rapi ini setidaknya sampai dua minggu ke depan.
Saat itu, penyakit bernama Covid-19 sudah terkonfirmasi ada di Indonesia sejak 2 Maret. Tapi belum ada aturan yang jelas dan ketat dari pemerintah dalam menghadapi wabah. Para pejabat mengesankan situasi biasa-biasa saja seakan tak ada apa-apa yang penting.
Sementara, orang-orang yang punya duit seperti kesetanan membeli masker dan hand sanitizer yang katanya adalah senjata paling ampuh mencegah Covid-19. Ada pula yang sengaja menimbun. Masker dan hand sanitizer jadi barang langka. Kalau pun ada yang jual, harganya jadi mahal sekali. Saya jelas tidak sanggup dan tidak mau beli. Harga satu kotak masker isi 50 pcs yang biasa saya beli di apotek nggak lebih dari Rp 25.000, tiba-tiba saja berubah jadi masker super seharga Rp 500.000. Bahkan ada yang jual Rp 800.000. Edan kan?
Semua orang mulai cemas. Saya pun cemas. Membaca dan menulis berita-berita terkait kasus Covid-19 membuat saya makin cemas.
Melihat perkembangan situasi, di Minggu malam itu, akhirnya kantor tempat saya bekerja mengumumkan bahwa semua karyawan bekerja dari rumah mulai 16 Maret. Wartawan tidak diizinkan liputan langsung ke lapangan. Kegiatan mencari bahan berita dan menulisnya dilakukan dari rumah.
Mendapatkan pengumuman itu, saya agak lega. Selain karena memang makin khawatir dengan situasi wabah, urusan potongan rambut yang bikin saya uring-uringan sejak siang selesai juga. Saya tidak perlu menahan malu ketemu kawan karena potongan rambut saya yang jelek ini. Saya kerja dari rumah dan tidak akan bertemu teman-teman sementara waktu. Waktu itu saya memperkirakan akan menjalani WFH setidaknya sampai dua atau tiga pekan mendatang. Artinya, pikir saya, ketika nanti bertemu teman-teman lagi, rambut saya udah rapi!
Rupanya saya keliru. Kalender 2020 berhenti di bulan Maret–setidaknya bagi saya begitu. Hari-hari berganti menjadi hitungan pekan, kemudian berganti menjadi hitungan bulan. Waktu terasa berjalan begitu aneh dan cepat. Kalau saja saya tidak menulis berita, mungkin saya sudah tidak bisa membedakan tanggal dan hari. Semua terasa sama saja.
Berbagai agenda liputan saya hadiri secara virtual. Tergantung undangannya, kadang lewat Zoom atau lewat siaran streaming di kanal Youtube. Pertemuan dengan teman-teman wartawan, editor, kepala desk juga sama. Kami berbincang lewat WhatsApp atau sesekali Zoom. Wawancara dengan narasumber menjadi agak sulit karena hanya mengandalkan telepon dan layanan pesan singkat.
Di bulan ketiga, saya menyadari rambut saya sudah panjang lagi. Dan tiba-tiba saja saya merasa sedih karena sudah lama sekali tidak bertemu teman-teman. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya dan teman-teman nongkrong di warung roti bakar di Blok M selepas liputan dari DPR. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya dan teman-teman olahraga di GBK Senayan dan pulangnya makan nasi uduk dengan ayam goreng di sebuah warung tenda pinggir jalan.
Saya melewati perayaan Idul Fitri bersama ayah, bunda, dan adik di rumah saja. Tanpa solat Ied ke masjid seperti tahun-tahun sebelumnya. Tanpa makan ketupat, opor ayam, dan sambal goreng ati bersama keluarga besar sebagaimana Idul Fitri yang sudah-sudah. Tak ada jabat tangan atau peluk erat dari anggota keluarga lainnya seperti yang selama ini saya ingat. Semuanya terasa begitu hening dan asing.
Setelah dua tahun berturut-turut meliput sidang tahunan MPR/DPR/DPD tiap 16 Agustus, tahun ini saya absen di lokasi. Saya mengikuti sidang tahunan dari tayangan streaming yang disiarkan TV Parlemen. Tidak ada kehebohan mencari batik paling cantik, memadukannya dengan celana bahan paling nyaman, dan sedikit berdandan karena hari itu jadi kesempatan paling baik buat teman-teman wartawan berfoto di depan gedung kura-kura hijau DPR yang ikonik itu.
Di ulang tahun saya yang ke-25 pada 30 Oktober, saya sengaja meminta cuti dari kantor. Tentu tidak ke mana-mana dan tetap di rumah saja. Saya hanya ingin tidak merasa cemas di hari ulang tahun. Selama tujuh bulan, banyak menulis berita, apalagi berkaitan dengan pandemi dan politik, membuat saya sering cemas. Di pagi hari itu, masih dengan setelan piama, saya meniup lilin dan memotong kue ditemani ayah, bunda, dan adik. Siangnya, saya memesan menu makanan Warung SS lewat Go-food. Sederhana dan biasa saja, tapi saya tahu sudah lebih dari cukup. Barangkali itu salah satu yang saya pelajari dari situasi yang mengharuskan saya di rumah saja selama berbulan-bulan.
Kini, tahun 2020 sudah di ujung. Matahari 2020 sebentar lagi tenggelam di balik cakrawala. Boleh jadi peringatan pergantian tahun baru kali ini tidak akan sesemarak seperti biasa. Sebab, situasi memang sedang tak normal, tak biasa. Pandemi menjadi distorsi dalam hidup kita. Catatan rencana dan keinginan berserakan, terpaksa kita lupakan sementara sampai belum tahu kapan. Seperti saya, misalnya, kini harus menunda keinginan potong rambut yang sudah memanjang karena terlalu khawatir untuk pergi ke salon.
Saya sungguh-sungguh berharap semoga hari-hari muram ini cepat berlalu.
Selamat tahun baru.